Pages

Selasa, 28 September 2010

wartawan 2

10 Fenomena yang Tidak Dapat Dijelaskan Secara Ilmiah




Banyak orang yang pernah mendekati kematian menceritakan pengalaman mereka melewati terowongan dengan cahaya terang. (Photoscom)
Melalui perkembangan dan prestasi ilmu pengetahuan modern, manusia semakin meyakini bahwa ilmu pengetahuan telah dipegang kuat dalam menguraikan setiap eksistensi kehidupan yang ada di planet dan alam semesta kita ini.
Mari kita ingat-ingat kembali bahwa meskipun banyak fenomena di dunia telah dijelaskan secara ilmiah, namun tidak seluruh fenomena dapat diuraikan oleh ilmu pengetahuan saat ini.
Sebagai contoh, ilmu pengetahuan belum membabarkan jawaban pasti mengenai proses di mana alam semesta pada awalnya dibentuk. Juga belum dapat menjelaskan bentuk keyakinan terhadap agama. Melangkah ke dunia supranatural, ada manifestasi misterius yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal, karena metode ilmiah tidak dapat diterapkan untuk mengukur atau meneliti fenomena tersebut.
Marilah kita perhatikan beberapa fenomena, yang mengingatkan kita bahwa alam merupakan sebuah keajaiban dalam diri sendiri dan banyak hal hingga kini masih tetap misterius.
1. Efek Plasebo
Efek placebo telah menjadi teka-teki medis yang meyentuh pengaruh pikiran manusia terhadap kesehatan fisik dan penyembuhan. Ditemukan bahwa beberapa pasien dengan diberi obat yang diyakini efektif dapat menyembuhkan, sekalipun mereka hanya diberikan pil gula. Temuan ini telah membangkitkan penelitian dengan menggunakan uji coba double-blind untuk menghindari timbulnya harapan yang mempengaruhi efektifitas para peneliti dan orang yang dieksperimen.
Sayangnya, selama bertahun-tahun, efektifitas dan terukurnya efek placebo telah dianggap oleh ilmu pengetahuan tidak dapat diandalkan. Hal ini kemungkinan karena adanya keterbatasan metode ilmiah. Walaupun demikian, ada banyak kasus penyembuhan diri manusia secara fisik bahkan melampaui medis.
2. Indera Ke-enam
Lima indera; pengelihatan, pendengaran, pengecap, sentuhan dan penciuman yang membantu kita menjelajahi dunia fisik kita ini. Terdapat juga indera ke-enam, sebuah kekuatan batin dari persepsi yang dikenal sebagai intuisi. Kata intuisi berasal dari bahasa latin "intueri" yang berarti 'melihat ke dalam.' Intuisi merupakan kemampuan untuk mengetahui dan memahami tanpa menggunakan penalaran logis atau analisa. Hal ini umumnya bagi orang yang memiliki tingkat ketajaman tertentu.
Intuisi secara popular disebut juga "firasat atau perasaan" batin yang mengetahui tentang sesuatu maupun situasi tertentu tanpa diketahui sebelumnya. Menurut survei PRWeek/Burson-Marsteller CEO 2006, 62 persen para CEO cenderung membuat keputusan bisnis bedasarkan pada intuisi mereka dibandingkan dengan menggunakan analisa data.
Sebuah penelitian pada 2007 yang diterbitkan dalam Current Biology juga menemukan bahwa para partisipan, ketika tidak diberikan waktu untuk melihat dan hanya menggunakan intuisi, lebih akurat dalam memilih satu simbol ganjil diantara 650 simbol sama dibandingkan ketika mereka diberikan waktu 1,5 detik untuk melihat simbol-simbol tersebut.
Pakar filosofi Tiongkok kuno, Laozi, pernah berkata, "Kekuatan pemahaman intuisi akan melindungi anda dari bahaya hingga hari-hari terakhir anda." Albert Einstein juga berkata, "Satu-satunya suatu hal yang nyata berharga adalah intuisi."
Akan tetapi dari mana datangnya intuisi? Penelitian dari titik otak manusia menuju kelenjar pineal merupakan jawaban yang memungkinkan pada misteri ini. Rene Descartes (1596-1650), bapak filosofi modern, menyebut kelenjar pineal sebagai "pusat sukma." Pemikiran Timur kuno memandang intuisi berada di wilayah kelenjar pineal dan diyakini bahwa ia dapat menerima iluminasi dari jiwa dalam bentuk pengetahuan dan gagasan.
3. Pengalaman Menjelang Kematian
Ada sejumlah laporan berbagai pengalaman aneh yang dialami orang-orang menjelang kematian, seperti melintas pada terowongan dalam cahaya terang, bertemu dengan mereka yang sangat disayangi serta memiliki perasaan tenang dan damai.
Yang paling terkenal adalah pengalaman Dr. George Rodonaia, yang "memiliki pengalaman mati secara klinis" pada 1976 dan merupakan kasus paling ekstensif yang pernah tercatat. Pengalaman itu telah merubah Rodonaia, seorang ateis yang akhirnya ditahbiskan menjadi iman di Gereja Ortodok Timur. Pengalamannya merujuk kepada kita bahwa masih ada dunia lain di luar dunia fisik manusia.
Meskipun orang benar-benar telah melewati pengalaman ini, ilmu pengetahuan belum mampu memberikan penjelasan atas fenomena tersebut. Beberapa ilmuwan mencoba menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman menjelang kematian dapat dijelaskan sebagai akibat halusinasi dari otak yang terluka. Namun, hal itu tidak selalu terjadi pada mereka yang mengalami cedera otak, sehingga tidak ada teori ilmiah nyata dapat membabarkan baik penjelasan maupun alasan mengapa orang memiliki pengalaman ini dan mengapa mereka sering kali mengalam perubahan hidup.
4. UFO
Unidentified Flying Object (UFO) adalah istilah yang diciptakan Angkatan Udara AmerikaSerikat pada 1952, untuk mengklasifikasikan benda-benda yang tidak dapat diidentifikasi oleh ilmuwan setelah dilakukan penyelidikan. Dalam budaya popular, konsep UFO biasanya lebih diartikan pesawat luar angakasa alien.
UFO telah terlihat dan tercatat pada awal dinasti Song, di Tiongkok. Pada abad ke-11, ilmuwan dan Jenderal Shen Kuo (1031-1095), telah menulis dalam bukunya "Dream Pool Easy" (1088) tentang benda terbang berbentuk mutiara denga lampu interior menyilaukan, bergerak dengan kecepatan luar biasa.
Kenneth Arnold, seorang pengusaha Amerika, dilaporkan telah melihat sembilan objek dengan cahaya terang, terbang melintasi gunung Rainier di negara bagian Washington pada 1947. Arnold menggambarkan obyek tersebut "seperti penggorengan" berbentuk lempeng. Penjabarannya memperoleh perhatian media terkemuka dan sangat menarik perhatian publik.
Sejak saat itu, penampakan UFO telah meningkat secara eksponensial. Fenomena UFO telah diperlajari dan diteliti oleh pemerintah maupun peneliti independen di seluruh dunia. Dr. Josef Allen Hynek (1910-1986) bekerja untuk Angkatan Udara Amerika Serikat guna menyelidiki penampakan UFO. Pada awalnya, Hynek sangat kritis, namun setelah memeriksa ratusan laporan UFO lebih dari tiga dekade, pendapatnya mulai berubah.
Dalam akhir karirnya, Hynek begitu vokal dalam mengungkapkan kekecewaannya pada metode sederhana, dimana sebagian ilmuwan enggan memandang UFO dan tidak dapat menjelaskannya.
5. Déjà Vu
Déjà vu, Perancis "yang pernah terlihat" adalah sensasi yang akrab dengan keangkeran pada suatu tempat atau peristiwa tertentu sebelumnya, karena ditemui untuk pertama kalinya. Orang-orang mungkin memiliki perasaan sangat aneh tentang sebuah penglihatan di depan mereka, seolah-olah telah terjadi sebelumnya. Namun mereka tahu bahwa itu merupakan sesuatu yang pertama kalinya mereka hadapi. Riset neurofisiologi telah mencoba menjelaskan pengalaman seperti anomali memori atau patologi otak maupun sebagai akibat dari efek samping obat.
Sebuah riset pada 2008 oleh psikolog Anne Cleary (http://cdp.sagepub.com/content/17/5/353.full), dieksplorasi bahwa déjà vu mungkin harus dilakukan dengan memori apresiasi. Sejumlah penjelasan alternatif mengasosiasikan déjà vu dengan ramalan, kenangan kehidupan masa lalu, clairvoyance maupun sebuah tanda mistis yang mengindikasikan pemenuhan kondisi yang telah ditentukan sebelumnya atau perjalanan hidup. Apapun penjelasannya, déjà vu tentu saja merupakan fenomena yang bersifat universal dengan kondisi manusia dan penyebab pokoknya masih misterius.
6. Mahluk Gaib
Menyinggung mahluk gaib pada cerita klasik oleh penulis seperti Homer dan Dante mengisyaratkan bahwa manusia dengan fenomena paranormal adalah umum dan terus bertahan. Kini, tempat angker seperti Whaley House di San Diego terdaftar sebagai atraksi wisata dan diklaim sebagai tempat penampakan berbagai mahluk gaib mengerikan.
Budaya popular sarat dengan film-film tentang mahluk gaib, namun ilmu konvensional mengarah pada pembersihan dari penjelasan fenomana seperti itu. Hanya para penyelidik yang ditempatkan di pinggiran komunitas ilmiah yang berusaha mengukur keabsahan kejadian tersebut.
Keberadaan mahluk gaib memiliki implikasi mendalam mengenai dimensi di luar dunia fisik kita dan kelanjutan jiwa manusia setelah kematian. Para penyelidik meneliti obyek ini dengan harapan, suatu hari misteri ini akan terpecahkan.
7. Lenyap Tanpa Dapat Dijelaskan
Ada sejumlah kasus aneh, di mana banyak orang lenyap tanpa jejak.
Seperti pada 1937, pilot Amelia Earhart dan navigator Frederick Noonan menghilang dengan pesawat Lockheed yang mereka terbangkan. Mereka sedang mendekati pulau Howland di Samudera Fasifik saat Penyelamat Pantai AS, Itasca, menerima pesan bahwa mereka kehabisan bahan bakar. Tidak lama kemudian komunikasi terputus dan Itasca tidak dapat menentukan di mana posisi Lockhead.
Segera setelah itu, Earhart dan Noonan mengirim pesan bahwa bahan bakar mereka hanya tersisa untuk setengah jam, tidak bisa melihat daratan dan setelah itu komunikasi mereka terputus. Mereka hanya dapat mendarat di air, namun setelah bertahun-tahun pencarian, baik penerbang maupun Lockheed tidak dapat ditemukan.
Dalam kasus seperti ini, meskipun ada upaya besar dari berbagai badan investigasi dengan menggunakan tekhnologi modern, kita masih gagal mengungkap jawaban konkret, apa yang telah terjadi pada mereka secara misterius.
8. Segi Tiga Bermuda
Segitiga Bermuda - Wilayah Samudera Atlantik antara Bermuda, Miami dan San Juan, Puerto Rica, di mana beberapa kapal dan sejumlah pesawat menghilang secara misterius - hal ini merupakan misteri besar di jaman modern pada planet kita.
Mereka yang selamat menceritakan tentang kisah perpindahan waktu, kekacauan instrumen navigasi, datangnya cahaya bola dari langit dan memburuknya cuaca secara tiba-tiba serta munculnya dinding kabut. Hal ini diceritakan oleh Frank Flyn pada 1956. Ia menggambarkan kabut itu sebagai "massa tak dikenal" yang menguras tenaga mesin setelah kapal mereka menembusnya.
Bruce Gernon Jr. juga pernah menghadapi kabut yang sama pada 1970. Kabut itu menyelimuti pesawatnya dan bermutasi menjadi satu dengan yang lain. Selama bertahun-tahu para ilmuwan bekerja keras untuk melenyapkan dugaan adanya misteri Segitiga Bermuda dengan mengatakan 'bukan misteri'. Namun mereka yang selamat dan secara langsung menghadapi peristiwa aneh itu, menyatakan dengan tegas bahwa apa yang terjadi di atas laut dan langit Segitiga Bermuda di luar pemahaman logis.
9. Bigfoot
Bigfoot merupakan salah satu makhluk paling legendaries dalam studi Cryptozoology. Bigfoot atau Saquatch seperti yang disebut di Amerika Utara, juga dikenal dengan nama Yeti atau Abominable Snowman di wilayah Nepal, Himalaya dan Tibet serta Yowei di Australia.
Pada 1951, pendaki gunung Eric Shipton telah mengabadikan jejak raksasa di Himalaya. Foto yang mengejutkan dunia itu telah mempopulerkan kisah tentang Bigfoot. Pada 1967, Roger Patterson dan Robert Gimlin berhasil mengabadikan apa yang mereka klaim sebagai Bigfoot. Rekaman mereka terkenal di seluruh dunia, yang kemudian banyak orang mencoba membuktikan keaslian dan ketidak asliannya.
Antropolog Grover Krantz tekah menguji film Patterson-Gimlin dan menyimpulkan bahwa itu merupakan rekaman asli dari makhluk raksasa yang tidak dikenal tersebut. Karena kurangnya bukti fisik Bigfoot, bagaimanapun juga, ilmu konvensional tidak menerima klaim keberadannya. Namun mitosnya sebagai penampakan tetap dilaporkan di seluruh dunia.
10. The Hum
Fenomena dengungan dengan frekwensi rendah dilaporkan telah terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, Inggris Raya dan Eropa Utara. Suara yang tidak dapat didengar seluruh umat manusia itu dikenal secara sederhana sebagai "Hum" atau dengan nama wilayah bunyi itu dapat didengar, seperti Taos Hum (New Meksiko), Kokomo Hum (Indiana), Bristol Hum (Inggris), Largs Hum (Kanada).
Bagi mereka yang dapat merasakan, suara tersebut seringkali digambarkan sebagai gemuruh mesin diesel jarak jauh. Hal ini telah mengakibatkan penderitaan bagi beberapa orang, dengan efek samping yang merugikan fisik serta mengganggu kehidupan secara normal.
Badan-badan pemerintah di seluruh dunia telah menyelidiki sumber Hum tersebut. Di Amerika Serikat, investigasi diawali pada 1960-an. Pada 2003, Departemen Lingkungan Hidup dan Urasan Pangan Pedesaan Inggris telah menerbitkan laporan yang menganalisa frekwensi rendah-Hum dan dampaknya terhadap pengadu. Namun, hasil pasti menunjukkan sumber Hum tidak tetap, dan hingga kini The Hum masih menjadi misteri. (EpochTimes/sua)






















Tafsir dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Senin, 22 Juni 2009 00:00 Masud Halimin, S.Th.I
Al-Qur’an sebagai petunjuk diyakini dapat berdialog dengan seluruh manusia sepanjang zaman. Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap akal pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh terhadap pengertian dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Pada abad-abad pertama Islam, ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan sebagian di antara para ulama tidak memberikan jawaban ketika ditanya tentang pengertian suatu ayat.
Mereka menyadari keagungan al-Qur’an dan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang tidak boleh ditafsirkan secara spekulatif. Kehati-hatian ini menjadikan Abu Bakar as-Shiddiq berucap, “Langit apa yang menjadi teduhanku, bumi apa yang menjadi pijakanku, jika aku berucap menyangkut al-Qur’an yang tidak kuketahui”. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Sa’id bin Musayyab bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata, “Kami tidak berbicara mengenai al-Qur’an sedikit pun”. Demikian juga halnya dengan Sali bin Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi’, Al-Asma’i, dan lain-lain.
Pada abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu. Dari sinilah penafsiran terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan corak penafsiran yang beragam; ada yang berdasarkan riwayat-riwayat, ada yang berdasarkan nalar penulisnya, dan ada pula yang menyatukan antara keduanya. Agaknya benar pandangan yang menyatakan bahwa “sepanjang sejarah, tidak dikenal suatu kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya al-Qur’an”.
Perkembangan ilmu pengetahuan juga menghasilkan sejumlah penafsiran yang bercorak ilmiah. Tafsir Fakhr Ar-Razy, yang memuat pejelasan-penjelasan yang sangat luas tentang persoalan-persoalan filsafat dan logika, adalah salah satu contohnya. Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis bahwa “Al-Fakhr ar-Razy di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam ilmu tafsir. Karenanya, sebagian ulama berkata, bahwa di dalam tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir”.(Abu Hayyan, Al-Bahr al-Muhîth, 1978, Jilid I, h. 13).
Kecenderungan penafsiran ilmiah di kalangan ulama merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap kondisi umat Islam, khususnya pada pertengahan abad 19 M. Umat Islam mengalami tantangan yang sangat hebat, baik dalam bidang politik, militer, sosial, maupun budaya. Di satu sisi, Kekuatan Barat mulai tampil dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, sementara di sisi lain umat Islam mengalami kemunduran secara sosial dan pengetahuan. Keadaan seperti ini menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada sebagian besar umat Islam. Salah satu bentuk reaksi dari kondisi ini adalah kecenderungan umat Islam memberikan pembenaran terhadap satu teori ilmiah yang baru ditemukan dengan mengatakan bahwa hal tersebut juga telah disebutkan di dalam al-Qur’an.
Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sebab, kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang bersifat relatif, yang suatu saat bisa dipatahkan oleh kebenaran ilmiah yang lain yang lebih kuat darinya, sedangkan al-Qur’an adalah kebenaran yang mutlak. Tidak dipungkiri bahwa al-Qur’an memang memuat sejumlah pemaparan ilmiah. Tetapi, tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan keesaan-Nya, serta mendorong manusia untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya. Apalagi uraian ayat-ayat ilmiah dalam al-Qur’an tidak disampaikan secara detil, sehingga ia membutuhkan penelitian lebih lanjut dan memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dalam uraiannya.
Membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari benar-tidaknya suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an atau banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diuraikan oleh al-Qur’an, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangai perkembangan ilmu pengetahuan atau justru mendorongnya. (Malik bin Nabi, Intâ al-Mustasyriqîn wa Atsaruhû fi al-Fikr al-Islâmy al-Hadîts, h. 123)
Dalam al-Qur’an ditemukan kata-kata “ilmu” - dengan berbagai bentuknya - terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya. Bahkan tidak itu saja, al-Qur’an juga mengemukakan hal-hal yang bisa menimbulkan hambatan kemajuan pengetahuan, antara lain:
1. subjektivitas: a) suka dan tidak suka (antara lain QS. 43:78; 7: 79); b) taqlid atau mengikuti tanpa alasan (antara lain QS. 33: 67; 2: 170)
2. Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (antara lain QS. 10: 36)
3. Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (antara lain QS. 21: 37)
4. Sikap angkuh atau enggan mencari atau menerima kebenaran (antara lain QS 7: 146)
Ayat-ayat semacam ini memberikan dorongan terhadap ilmu pengetahuan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. “Tiada yang lebih baik dituntun dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir… serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki.”(Abbas Mahmud Al-Aqqad, al-Falsafah al-Qur’âniyyah, h.12). Ini adalah korelasi pertama dan utama antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Hanya saja redaksi yang digunakan oleh al-Qur’an bersifat singkat, teliti, dan padat. Tetapi justru di sinilah keluasan makna yang bisa dicakup dan diuraikan dari pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut. Suatu isyarat ilmiah yang diuraikan oleh ayat al-Qur’an yang singkat dan padat tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu pengetahuan, sehingga bisa menghasilkan sejumlah pemahaman yang berbeda sesuai sudut pandang ilmiah yang dipakai untuk menelitinya.
Dengan pemahaman korelasi antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan seperti ini, maka kita akan menemukan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidak mungkin timbul pertentangan, selama keduanya menggunakan metode dan bahasa yang tepat. Richard Gregory dalam Religion in Science and Civilization menulis, “Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf peradaban; agama adalah suatu reaksi kepada satu gerak batin menuju apa yang diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim; sedangkan ilmu pengetahuan merupakan tumpukan pengetahuan tentang objek alam yang hidup dan yang mati”. Selanjutnya dia berkata, “Di dalam sinar kebaktian kepada cita-cita yang tinggi, maka ilmu pengetahuan sangat perlu bagi kehidupan kita dan agama menentukan arti hidup manusia; kedua-duanya dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja, tanpa ada pertentangan antara keduanya.
(Tulisan ini disadur dari beberapa tulisan dan buku Prof. Dr. M. Quraish Shihab)























Perpustakaan, Sarana Pintar Buat Pintar

Judul opini diatas, merupakan sebuah slogan Perpustakaan. Slogan tersebut sering kita lihat di berbagai media. Sarana pintar buat pintar, merupakan sebuah kalimat yang terdiri dari beberapa suku kata, guna mempertegas maksud keberadaan sebuah lembaga yang bernama Perpustakaan.

Perpustakaan sendiri merupakan suatu unit kerja dari suatu badan atau lembaga tertentu, yang mengelola bahan – bahan pustaka, baik berupa buku – buku maupun bukan berupa buku (Nonbook Material), yang diatur secara sistematis menurut aturan tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi oleh setiap pemakainya (Wahyu Supianto, 2008)

Perpustakaan dan Pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Perpustakaan berfungsi sebagai salah satu faktor yang mempercepat akselerasi transfer ilmu pengetahuan. Sedangkan pendidikan, merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran, atau dengan cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Didalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pemerintah harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu secara relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan, sesuai dengan tuntunan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

Sebagai sebuah lembaga yang memberikan kontribusinya dalam bidang pendidikan, maka perpustakaan memiliki nilai – nilai pendidikan, edukatif dan ilmu pengetahuan. Orang yang mau membaca dan belajar, dapat memanfaatkan Perpustakaan sebaik – baiknya. Pendek kata, siapapun yang ingin pandai, menambah pengetahuan, keterampilan, dan wawasannya mesti belajar ( membaca), sementara itu, sumber membaca / belajar yang relatif lebih lengkap dan secara konferhensif tersedia adalah Perpustakaan.( Sutarno, 2008 ).

Bila melihat tujuan dari didirikannya sebuah Perpustakaan, akan tampak begitu besar manfaat yang dapat diambil. Adapun beberapa tujuan tersebut yaitu :
1. Menimbulkan rasa cinta untuk membaca.
2. Memperluas dan memperdalam penguasaan ilmu pengetahuan.
3. Mengembangkan kemampuan belajar.
4. Membantu mengembangkan kemampuan bahasa dan daya pikir.
5. Pemeliharaan bahan pustaka secara baik.
6. Memberikan kemudahan temu kembali informasi.
7. Menunjang kegiatan belajar mengajar.
8. Tempat rujukan untuk mencari informasi, guna pembuatan karya ilmiah maupun penelitian.
Bila ditinjau dari sisi pandang yang lebih luas, maka peran perpustakaan bertindak sebagai agen perubahan, pembangunan, dan teknologi. Perubahan selalu terjadi seiring dengan sifat manusia yang selalu ingin tahu, eksplore dan berbudaya. Oleh karena itulah perpustakaan mempunyai andil yang besar dalam proses maju mundurnya dunia pendidikan.

Tenaga Perpustakaan

Pengelolaan sebuah perpustakaan, apakah itu Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Perguruan Tinggi pasti harus ditunjang oleh tenaga – tenaga yang terampil. Ini merupakan sebuah konsekkuensi yang harus dipenuhi. Karena memang perpustakaan dibangun untuk dapat mencerdaskan masyarakat. Oleh sebab itu, seorang pengelola perpustakaan yang menjadi ujung tombak di perpustakaan, haruslah orang – orang yang benar – benar terlatih dan mempunyai keterampilan khusus.

Terlihat jelas dalam penerimaan CPNS tahun 2009 beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten yang ada di Bangka Belitung, hampir semuanya membuka formasi Pustakawan, baik tingkat Sarjana (S1) maupun Ahli Madya (D3). Seperti yang sudah dibayangkan, pelamarnya juga tidak banyak, hanya ada 2 atau 3 orang saja. Bahkan diakhir hari penuntupan lamaran, ada kabupaten yang masih kososng pelamaranya khususnya untuk tenaga Pustakawan. Ini menunjukkan tingkat kebutuhan Pustakawan di Bangka Belitung sangat tinggi.

Kenapa harus Pustakawan yang bekerja di Perpustakaan? Kenapa bukan sarjana lain saja? padahal kerjanya kan, hanya meminjamkan dan menyusun buku semata? dan ini tentu sangat mudah. Itulah anggapan sebagian dari masyarakat, terhadap tenaga perpustakaan. Sesungguhnya tidak demikian, pekerjaan yang ada di perpustakaan bukan hanya peminjaman dan penyusunan buku saja. Banyak pekerjaan lain diluar peminjaman dan penyusunan buku, seperti pengolahan koleksi pustaka, proses pembuatan kartu catalog, proses automasi bahan pustaka yang semuanya memerlukan keahlian khusus, dan ini hanya bisa dikerjakan oleh seorang Pustakawan.

Hal lain yang harus diperhatikan juga, seiring dengan kemajuan informasi yang begitu cepat perkembangannya, perpustakaan dituntut untuk lebih berkembang, untuk itu dibutuhkan Sumber Daya Manusia ( SDM) yang memiliki daya pikir, kemampuan mengembangkan dan mempunyai gagasan untuk mengembangkan perpustakaan, bukan hanya sekedar menjadi pegawai pelengkap di sebuah Perpustakaan.

Sebuah perpustakaan sedapat mungkin merekrut, menempatkan setiap tenaga kerja, sesuai dengan kemampuan, dan keahlian ( the right man in the righ place). Karena memang segala sesuatunya mesti dimulai dari faktor manusia, mereka merupakan pemikir, penggerak, pelaksana dan sekaligus pengawas atas jalannya organisasi dalam mencapai tujuannya.

Hal lain yang perlu diingat adalah seorang pegawai perpustakaan bukanlah pegawai buangan, artinya bila ada pegawai yang tidak memiliki kemampuan apa – apa, lantas dia ditempatkan di perpustakaan, ini merupakan sikap yang salah dan harus dirubah.
Perpustakaan sebagai pusat sumber belajar, sebagai pusat sumber pembelajaran, pusat kegiatan sosial, pusat kebudayaan bangsa dan pusat informasi, sangat membutuhkan dukungan dari berbagai macam komponen seperti pemerintah daerah maupun pimpinan lembaga dimana perpustakaan itu bernaung. Hal ini diperlukan agar sebuah Perpustakaan dapat menunjang program – program lembaga induknya. Jayalah Perpustakaan Indonesia.

( Tulisan ini pernah dipublikasikan Harian Pagi Bangka Pos Edisi Rabu tanggal 2 Desember 2009). Terdapat kesalahan nama pada saat publikasi, Tertulis nama Asyraf Suryadin seharusnya Muktamarudin Fahmi. Sudah diralat pada edisi Kamis tanggal 03 Desember 2009 )


________________________________________

Written By : Muktamarudin Fahmi, A.Md
PUSTAKAWAN UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG

wartawan


Feature human interest
(2) MENCARI ENYI DALAM TIMBUNAN LUMPUR
Kamis, 25 Februari 2010 | 03:28 WIB
Pandangan Umar (54), warga Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menyapu deretan nama yang dipasang di masjid RW 18.
Ke-43 nama itu merupakan daftar nama korban longsor yang terjadi pada hari Selasa (23/2). Ia menemukan nama istrinya, Enyi (50), dalam daftar itu di urutan ke-11 dan belum dilingkari. ”Itu berarti jenazah istri saya belum ditemukan dalam timbunan longsor,” ucap Umar lirih dan parau.
Papan nama yang dipasang di masjid Kampung Cimeri, Desa Tenjolaya, menjadi rujukan warga yang mencari tahu nasib sanak saudara mereka. Di dalam masjid, jenazah yang sudah ditemukan disemayamkan sementara untuk kemudian dibawa keluar menggunakan ambulans.
Umar tampak terpukul sekali oleh musibah longsor tersebut. Ia kehilangan belahan hidupnya dalam sekejap saat retakan di bukit ambruk dan menimbun 21 rumah yang dihuni pekerja Perkebunan Teh Dewata itu. Yang membuatnya lebih tertekan, ia menyaksikan sendiri saat-saat terakhir lumpur meluluhlantakkan perumahan pekerja, salah satunya adalah yang ditinggali istrinya.
Bapak enam anak ini pun mengisahkan, ia berada 50 meter dari lokasi saat longsor terjadi pada pukul 08.00. Disertai bunyi dentuman, dia melihat lereng bukit terkupas dan merosot jatuh mendekati permukiman kebun teh. Saat itu, longsoran belum mengenai permukiman warga.
Umar dan beberapa karyawan lain yang melihat hal ini segera berteriak memperingatkan warga yang ada di permukiman untuk segera menghindar. Dari kejauhan, ia melihat istrinya sempat keluar rumah, tetapi kemudian masuk kembali. ”Belum sampai 15 menit setelah longsoran pertama, terjadi longsoran yang lebih besar yang menimbun seluruh permukiman,” ujar Umar murung.
Tidak tanggung-tanggung, lumpur dengan ketebalan lebih dari tiga meter langsung menimbun permukiman itu hingga mencapai atap. Sebanyak 21 rumah warga, lima bangunan milik kantor perkebunan, dan satu masjid hancur. Lumpur juga memutuskan jaringan listrik ke Kampung Cimeri.
Namun, setidaknya Umar masih bisa bernapas lega. Anaknya paling bungsu, Novita Sri Rahayu (8), selamat dari longsor. Novita saat itu tengah bersekolah di lokasi yang berjauhan dengan permukiman penduduk sehingga terhindar dari maut.
Sayangnya, kebahagiaan yang sama tidak bisa dirasakan Administratur Perkebunan Teh Dewata, Irvansyah. Anaknya, Alfart (3), menjadi korban karena sedang berada di rumah bersama pengasuhnya, Ida (35). Keduanya hingga kini belum ditemukan.
Kesedihan juga dirasakan Anton Sutisna (39), Ketua RT 08 RW 18, Desa Tenjolaya. Lelaki yang sudah 27 tahun bekerja di Perkebunan Teh Dewata itu kehilangan dua anggota keluarganya, yakni keponakannya, Neni (26), dan ibunya, Mak Enah (60). Ia juga menyaksikan sendiri rumah ibunya tertimbun longsor. Saat itu, Anton baru saja hendak berangkat ke lokasi perkebunan.
Sejak Selasa malam, Anton mencari keponakan dan ibunya. Baru Rabu, sekitar pukul 10.00, Neni ditemukan. Kelegaan dan kesedihan mendalam terpancar dari wajah Anton.
Setelah bapaknya meninggal, Anton adalah kepala keluarga. Rabu siang itu juga, Anton mengantarkan jenazah Neni kepada orangtuanya. ”Bapak-ibunya sudah menunggu di Ciwidey. Neni mau dibawa ke Tasikmalaya,” katanya menahan tangis.
Setelah Neni, Anton masih harus mencari keberadaan ibunya, hidup atau mati. Meskipun kesempatan hidup semakin menipis karena sudah dua malam tertimbun, Anton tidak patah arang. ”Saya harus tetap menemukan emak…,” tuturnya.
Kompas menumpang ambulans yang mengantarkan jenazah Neni (26) menuju Ciwidey. Sepanjang perjalanan, ambulans yang ditumpangi beberapa kali dihentikan warga. ”Agus… ada Agus di sini? Tanya salah seorang warga yang tampak kebingungan menghentikan ambulans. ”Agus? Teu aya kang… ieu teh Neni (enggak ada kang, ini Neni).” Mengetahui jenazah itu bukan Agus, warga tersebut tampak kecewa.



















Feature Sejarah

Minggu, 26 April 2009
Contoh Feature Sejarah
Simbol Kejayaan Transportasi Masa Kolonial
Kini menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Gedung tua di ujung Jalan Pancasila, Kota Tegal, ini masih kokoh berdiri. Halamannya berumput hijau, tumbuh merata. Tampak pula beberapa pohon Akasia di sekitarnya sehingga area itu tampak asri dari luar. Tapi, begitu masuk ke dalam, ada kesan seram. Apalagi di lantai dua dan tiga, bulu kuduk bisa merinding. Dua lantai itu menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.
Sesungguhnya, bangunan ini bagus, tapi tak terurus. Pemerintah daerah binggung bagaimana mengurusnya. “Kami sulit (mencari) tim ahli untuk menentukan apakah gedung tersebut layak dijadikan cagar budaya atau tidak,”kata Akur Sujarwo, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pemuda Olah raga dan Pariwisata Kota Tegal.
Akur hanya pasrah saat Kepala Kantor Wilayah Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan penyelamatan cagar budaya pada 1998. “Pemkot sendiri belum memiliki perda untuk melindungi keberadaan gedung tua,” katanya.
Tembok bangunan itu bercat putih, sarat ornamen propel. Sayang, sebagian dindingnya sudah berlumut. Tak banyak orang yang tahu bahwa gedung ini pernah menjadi symbol kejayaan transportasi di masa Kolonial Belanda, Yakni sebagai Kantor Biro Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS), di bawah perusahaan Nederland Indice Sporing (NIS) .
Di bawah bangunan ini ada bungker yang menyerupai lorong panjang, tapi di dalamnya ada sel yang menyatu dengan fondasi bangunan. Saat musim hujan, bungker itu penuh air dengan kedalaman sekitar 50 cm. Setiap lorong bungker disekat-sekat dengan teralis seukuran manusia berdiri dengan arah saling berhadapan. Konon lorong itu tembus sampai Pelabuhan Tegalsari, sebuah pelabuhan tua di utara Kota Tegal.
Konon, gedung ini merupakan bangunan termegah kedua setelah Lawang Sewu atau kantor NIS Semarang.” Kata Wijanarto, peneliti sejarah Kota Pantai Utara. Menurut dia, gedung ini dibangun pada 1911 dan diresmikan pada 1913. Perancangnya adalah arsitek andal, Henri Maclaine pont, yang juga menantu Ir. J. Th Gerlings, Direktur SCS di Deen Haag. Sebelumnya, dia berhasil membangun Stasiun Tegal pada 1897.
Pembangunannya dilakukan oleh Europrrsche Architektuur in Indie, arsitek Eropa di negeri jajahan. Konsepnya adalah merespon lintasan matahari tropis dengan pola massa bangunan yang memanjang dari timur ke barat. “ dengan begitu, fasad sisi utara dan selatan kaya artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi,”kata Wijanarto. Kontrak pembangunannya ditandatangani pada 1 November 1910 di Amsterdam untuk masa 3 tahun, oleh SCS, anak perusahaan NIS, yang memegang sonsesi pengelolaan jalar kereta api Anyer-Surabaya.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini diambil alih oleh Jepang dan digunakan untuk kantor Gunseikan atau kantor militer Jepang. Hal itu bisa dipahami karena didekat gedung ini ada Hotel Stoork untuk gudang senjata. “untuk mempermudah pengawasan senjata di Hotel Stoork,” ujar Wijanarto.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan gedung ini ada di bawah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Bahkan halaman gedung yang luas ini pernah digunakan untuk menyimpan aspal dan alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum.
Kepala Tata Usaha Stasiun Kereta Api Kota Tegal Susilo Budi Utomo mengaku tidak tahu kejelasan status pengelolaan gedung SCS yang sebenarnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). “Pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Perhubungan dan Departemen Pendidikan,” katanya.
Dia menambahkan, PT KAI mengalihkan pengelolaan langsung di kantor Daerah Operasional IV di Semarang. Meski demikian, dia menyatakan gedung SCS disewa oleh Yayasan Universitas Panca Sakti (UPS) sebesar Rp 700 ribu per tahun, melalui kesepakatan antar Departemen di Jakarta.
Di depan gedung ini terdapat sebuah taman yang diapit oleh ruas jalan Pancasila. Pada masa colonial dulu, taman tersebut dijadikan sebagai tempat weekend dan pesta kebun bagi pejabat Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Pemerintah Kota Tegal menyebutnya Taman Pancasila. Tapi warga Kota Tegal lebih mengenalnya sebagai Taman Poci. Maklum, di tempat itu, banyak warga dating setiap akhir pecan untuk santai bersama keluarga sambil menikmati the poci.
Belakangan, keberadaan SCS semakin tak dilirik orang. Yayasan UPS yang menyewanya sekitar 30 tahun lalu telah mengosongkan 18 ruangan di lantai dua dan tiga. Maklum, yayasan itu kini telah memiliki kampus, yang diresmikan pada Desember tahun lalu. Tapi bangunan depannya masih digunakan sebagai kantor rektorat. “gedung ini selalu ramai, meski kelihatan angker,” kata Muhammad Abduh, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat UPS.
Saat Tempo mencoba menikmati pemantauan di dalamnya, suasananya kurang nyaman. Di lantai dua dan tiga, bangunan yang kaya dengan ornamen ukiran kayu ini dipenuhi kotoran kelelawar. Aromanya kurang sedap.
Sebenarnya, Abduh betah berkantor di situ. “ Habis gimana lagi, di sini kan kita hanya minjam,” tuturnya. Yang jelas, di usianya yang kian renta, cagar budaya ini butuh perhatian dan uluran tangan. ****EDI FAISOL
di posting dari KORAN TEMPO  Jum’at, 20 Maret 2009
Feature musiman
Ketika Harga Bendera Lebih Murah dari Cabai
Penjual Musiman Bermalam di Trotoar

AGUSTUSAN. Penjual aksesori perayaan 17 Agustus di Jalan AP Pettarani, Selasa, 27 Juli. Di tempat ini, selembar bendera merah-putih dijual antara Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu. (FOTO JUMAIN SULAIMAN/FAJAR)
BANYAK momen yang bisa digunakan untuk meraup rupiah. Salah satunya jelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, bendera dan umbul-umbul banyak dicari.

SUASANA masih pagi namun Daeng Sewang sudah menggelar lapaknya di pinggir jalan. Lapak tersebut hanya terbuat dari karpet kecil berukuran lebih kurang 1x2 meter. Di situlah ia memajang bungkusan-bungkusan barang jualannya.

Daeng Sewang adalah penjual atau pedagangan bendera dan umbul-umbul yang mangkal di Jalan AP Pettarani. Tempat jualannya hanya memanfaatkan ruas trotoar. Namanya juga pedagang kecil-kecilan, hampir tidak ada fasilitas jualan yang dia miliki layaknya pedagang kakap. Tak ada kalkulator, meja, buku keuangan, dan lainnya. Modalnya cuma karpet itu tadi plus barang jualan.

Sehari-hari Daeng Sewang memang berjualan bendera dan aneka umbul-umbul serta berbagai aksesori perayaan peringatan HUT Kemerdekaan RI. Sudah hampir dua minggu ia berjualan di tempat itu. Profesi penjual musiman telah digelutinya sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya sudah hampir sepuluh tahun ia terjun ke dalam bisnis dadakan seperti ini. Bisnis Daeng Sewang memang hanya bergantung pada musim.

Daeng Sewang menceritakan, barang-barang jualannya merupakan murni bisnis sendiri alias modal yang dipakai tak lain adalah uangnya sendiri. Meskipun barang yang dijajakan secara kuantitas tidak begitu banyak tetapi pasokannya lancar, sehingga tidak pernah mengalami kehabisan stok.

Walau sedikit, tetapi variatif. Berbagai jenis bendera dan umbul-umbul dijualnya. “Semua barang yang saya jual, dipasok dari Bandung,” kata Sewang, Selasa, 27 Juli.

Di samping model bendera dan umbul-umbul yang variatif, ukurannya juga terbilang beragam. Dari yang kecil hingga yang lebar. Semuanya ia tawarkan di lapak sederhananya itu. Lapak yang multifungsi.

Dikatakan multifungsi, karena selain digunakan berjualan, yakni sebagai etalase barang jualan, lapak itu juga digunakannya untuk beristirahat dan tidur. Sambil menunggu pembeli, kadang-kadang Daeng Sewang tertidur di lapaknya itu.

Hampir setiap malam Daeng Sewang bermalam di lapaknya tersebut. Kecuali jika hujan deras, terpaksa ia pulang kerumah membawa barang jualannya. Lantas mengapa sampai rela mau menginap di lapaknya itu? Ada dua alasan yang dia ajukan, yaitu alasan pembeli dan efisiensi.

Daeng Sewang mengaku pembeli kadang-kadang sampai larut malam masih ada. Makanya, karena faktor itu sehingga ia rela menunggui pembeli hingga larut malam.

Sedangkan untuk alasan efisiensi, Daeng Sewang mengeluhkan jika harus selalu menata barang dagangannya. Barang jualan yang ada di lapak mungkin mudah diatur dan dikemas untuk di bawa pulang.

Tetapi contoh jualan yang digantung serta direntangkan di pohon-pohon yang sulit. Karena setiap kali mau dikemas, mesti memanjat dan membuka tali-temali yang dijadikan sebagai bahan gantungan contoh jualan.

Barang contoh sebagian terpaksa dibentangkan di pepohonan yang tumbuh di trotoar karena banyak umbul-umbul serta bendera yang berukuran panjang. Sehingga tidak bisa jika hanya dibentangkan di lapaknya karena tidak muat. "Setengah mati memasangnya jika diturunkan. Makanya dibiarkan saja begitu (terpasang red)," imbuh Daeng Sewang.

Ada beberapa jenis bendera, umbul-umbul, serta aksesori peringatan kemerdekaan lainnya. Pada umumnya mengandung dua warna dasar, yaitu merah dan putih. Untuk bendera merah putih biasa, ada tiga jenis ukuran yang dijualnya. Yaitu ukuran 120x50 sentimeter, 150x70 sentimeter, dan 200x100 sentimeter.

Kemudian untuk umbul-umbul biasa, setidaknya ada dua jenis yang dijual. Ada umbul-umbul lurus dan ada yang modelnya runcing. Kombinasi warnanya juga bermacam-macam, seperti merah-putih, merah-putih-ungu, merah-putih kuning, dan merah-putih-hijau. Ada juga umbul-umbul ukuran jumbo yang berukuran 4x1 meter. Ada dua macam kombinasi warnanya, yaitu merah-putih-kuning-biru, dan merah-putih-hijau.

Lalu ada juga umbul-umbul tipe background yang tersedia dalam dua ukuran, yaitu 5x1 meter dan 10x1 meter. Model tipe ini juga ada tiga macam, yaitu model biasa, matahari, dan matahari berenda. Dinamakan umbul-umbul background karena penggunaannya hanya digunakan sebagai latar di kantor-kantor atau dalam hajatan.

Untuk harga, Daeng Sewang mengaku barang yang dijualnya terjangkau oleh semua kalangan. Bendera biasa dibanderol dengan harga Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu. Itu sudah harga semua model atau ukuran bendera non umbul-umbul dan aksesoris. Demikian halnya untuk umbul-umbul termasuk umbul-umbul jumbo, harganya di kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu. "Kecuali background yang agak mahal," katanya.

Jika dibandingkan dengan harga cabai dan tomat saat ini, tentu saja harga selembar bendera jauh lebih murah dari satu kilogram bawang dan kedua komiditas tadi. Saat ini harga cabai semua ukuran telah mencapai Rp 30 ribu per kilogram.

Seperti pengakuan H Naba, pedagang sayuran di Pasar Pabaengbaeng, cabai dijual di kisaran Rp 29 ribu hingga RP 31 ribu per kilogram. "Memang mahal karena dari pemasoknya juga begitu," kata Naba.

Naba mengeluhkan kenaikan kenaikan beberapa item bahan pokok, terutama bawang dan cabai. Karena hal itu, katanya, mengakibatkan penghasilannya berkurang. "Sejak harga barang-barang naik, pembeli berkurang. Kalaupun ada pembeli, mereka mengurangi takaran belanjanya," ungkap dia. (*)













                               





























Feature berita
BERJUALAN ROKOK HANYA UNTUK ANAK ISTRI

Semangat pantang menyerah, mungkin kata-kata itu cocok untuk Suroto yang menjajakan rokok demi menghidupi anak dan istrinya.
Suroto (37), bapak dari dua anak ini salah satu pendual rokok di jalan Malioboro. Suroto berasal dari Solo. Dia memilih berjualan di Jogja karena menurutnya di Jogja keuntungan yang dia dapatkan lebih banyak sehingga cukup untuk menghidupi 2 anaknya yang saat ini masih sekolah TK dan SD.
Awalnya, suroto bingung mencari bidang usaha yang ia tekuni. Pilihannya pun jatuh pada rokok, karena saat itu ia menerima ajakan temannya yang sudah lebih lama menggeluti di bidang tersebut. Walaupun penghasilan yang ia dapatkan dari menjual rokok tidak terlalu banyak ia yakin dapat menghidupi anak dan istrinya yang menanti.
Suroto mulai bekerja sejak pukul 09.00 s/d sore pulul 16.00 ia memperoleh penghasilan sebanyak Rp. 25.000,- akan tetapi kadang ia berjualan sampai malam, keuntungan yang ia dapatkan bila berjualan sampai malam bisa mencapai Rp. 50.000,-. Suroto harus pintar-pintar membagi penghasilan, saat ditanya apakah uang segitu cukup pak ? ya besar pasak dari pada tiang katanya sambil membasuh mukanyanya yang kusam” Dia juga mengatakan bahwa ia harus pintar-pintar membagi uang karena ia harus menanggung uang makannya sehari-hari, terus biaya untuk kos yang harus ia bayarkan sebanyak Rp. 120.000,- per bulan, belum untuk pulang ke kampung halaman dan memberi nafkah kepada anak istrinya. Mujiono juga salah satu teman sehabitat berjualan rokok suroto menurutnya suroto orangnya baik. Dia mengaku bahwa hubungan mereka sesame penjual rokok sangat terjaga “ Ya sama-sama rekann kerja kalau ada apa-apa ya di Bantu, ujar Mujiono dengan senyum simpulnya. Suroto mengaku sangat senang berjualan di Malioboro sangat senang selain orangnya ramah-ramah dia juga menemukan pengalaman yang berwarna-warni dan walaupun tidak di kampungnya sendiri ia dapat bermasyarakat dengan baik, sehiingga ia tetap semangat mencari nafkah demi menghidupi anak istrinya.

Muhammad Aziiz/153070.198

















Profil feature
KISAH NYONYA SULAIMAN
Hanya lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam, pada saat wanita tua itu menjalankan tugasnya, membersihkan gang pada jam 2 malam. Nyonya Selasih Sulaiman, 69 tahun, sudah sekitar setahun menyapu gang di Jalan Kurcaci, hampir setiap malam.
“Saya melakukan hal ini sejak suami saya meninggal, setahun yang lalu, “ Nyonya Sulaiman menjelaskan dengan senyum ramahnya. “Saya tidak ada pekerjaan lain. Semua tetangga saya sibuk bekerja, maka inilah bagian kecil saya.”
Keheningan tugas malam itu hanya terganggu oleh patroli rutin polisi. Petugas patroli Aritonang dan Sujiwo mendatangi gang itu pada saat Nyoya Sulaiman ada di luar. “Ia wanita yang baik, maka bila tak ada tugas lain, kami senang mendatangi daerah ini,” kata Aritonang. “Kedua anak ini berpatroli tiap malam untuk melihat apakah wanita tua gila ini aman,” kata Nyonya Sulaiman gembira. Meskipun ia menyebut dirinya “wanita tua gila”, Nyonya Sulaiman menunjukkan filsafat seorang realis.Mengakui bahwa gang itu tidak selalu kotor, ia menjelaskan, ”Wanita tua seperti saya ini perlu beramal. Karena suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa, saya harus melakukan sesuatu.”
Mula-mula ia enggan berbicara mengenai tugas malamnya membersihkan sampah di gang. Tetangganya tidak tahu perkerjaan itu. “Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya akan berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya,” katanya. “Saya tidak ingin ini dimuat di koran. Mengapa engkau risaukan saya keluar jam dua malam?”
Hanya dengan imbuan bahwa ada kebanggaan masyarakat, ia mau bercerita dan berharap bahwa warga kota lainnya akan mengikuti jejaknya, tapi pada siang hari. “Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar,” katanya. “Kadang-kadang anak-anak lewat di sini kalau minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak mengganggu saya. Mereka selalu melambaikan tangan.”
Pekerja malam hari itu pernah satu kali menjadi penjaga tetangga yang sedang tidur dari kejahatan. Ketika suatu ketika ia sedang menyapu, Nyonya Sulaiman melihat seorang pria yang bersembunyi di balik semak. “Maka saya masuk lagi dan menelpon polisi. Kedua polisi yang baik hati ini datang dua menit kemudian dan menangkap orang itu, yang sedang merangkak ke jendela tetangga sebelah.”
Pada siang hari tetangga di kiri kanan rumahnya dan sepanjang gang itu memanggil Nonya Sulaiman “nenek”. Matanya sayu penuh perasaan bila bercerita tentang tetangganya. “Mereka baik-baik,” katanya. “Anak-anak memanggil saya nenek dan selalu datang pada saya. Saya bikinkan kue untuk mereka, asal ibu mereka tidak melarang. Pria di sini juga baik-baik, membantu saya mengangkat barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis.”
Tetangganya, para wanita, merawat Nyonya Sulaiman ketika ia agak sakit bulan Januari lalu. “Tidak banyak wanita tua yang beruntung seperti saya ini, “ katanya. “Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda. Itulah kunci hidup supaya menyenangkan, berpikir muda.” *****







Senin, 27 September 2010

sejarah

SEKILAS SEJARAH PERS INDONESIA

9 September 2010
BERBICARA perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.
Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.
Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara
Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan
Pers kaum pribumi
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.***

sjrh ja

Sejarah perkembangan pers.
Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi,dipancangkan beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman- pengumuman resmi. Menurut isinya, papan pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita- berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.1
C. Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)
Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan cerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau, Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.

Selasa, 21 September 2010

sejarah PERS dari http://arief-permadi.blogspot.com/2008/10/sejarah-pers.html

Sejarah Pers

KATA orang, pers sudah ada sejak lama. Cikal bakalnya muncul sejak zaman Romawi Kuno (59 SM). Sejumlah catatan sejarah menyebutnya sebagai Acta Diurna, semacam jurnal yang beritanya masih ditulis tangan alias tak dicetak.

Sekalipun cikal bakalnya ada di Romawi, koran edisi cetak sendiri ternyata tak muncul di sana untuk kali pertama. Koran edisi cetak pertama justru dikenal di Cina, bernama Di Bao (Ti Bao) yang terbit sekitar tahun 700-an. Tentu, jangan membayangkan bahwa koran itu mulus dan cantik seperti yang kita lihat setiap hari sekarang, sebab Di Bao dicetak dengan menggunakan balok kayu yang dipahat. Hurufnya aksara Cina. Ahli sejarah sepakat bahwa Di Bao adalah koran pertama di dunia yang sudah dicetak.

Selain hurufnya yang masih kasar, bentuk koran zaman dulu juga juga tak seperti sekarang yang terdiri atas berlembar-lembar halaman. Bentuk koran pada zaman dulu masih sangat sederhana, masih berupa lembaran berita atau disebut newssheet.

Dari sisi isi, juga lebih banyak berkaitan dengan dunia bisnis para banker serta pedagang dari Eropa. Termasuk koran berikutnya, Notize Scritte yang terbit di Venesia, Italia. Saat itu, koran lembaran ini biasanya banyak dipasang di tempat umum. Namun, untuk membacanya warga harus membayar 1 gazzeta. Dari sanalah, konon, muncul istilah gazette yang dalam perkembangannya diartikan sebagai koran.

Era kebangkitan koran lantas terjadi menyusul penemuan mesin cetak oleh Johan Gutenbergh pada pertengahan abad XV. Penemuan mesin yang memudahkan proses produksi ini memicu terbitnya koran-koran di Eropa, sekalipun prosesnya tak sekaligus.

Awalnya, lembar berita yang terbit tidak teratur dan memuat cuma satu peristiwa yang saat itu sedang terjadi. Koran berkala muncul tahun 1609 dengan terbitnya mingguan Avisa Relation oder Zeitung di Jerman. Berikutnya terbit pula Frankfurter Journal (1615). Sampai kemudian lahir Leipzeiger Zeitung (1660), juga di Jerman, yang mula-mula mingguan, kemudian jadi harian. Inilah koran harian pertama di dunia.

Koran lainnya yang kemudian muncul adalah The London Gazette yang terbit di Inggris tahun 1665. Namun koran yang pertama terbit secara harian di Inggris adalah The London Daily Courant (1702), disusul The Times yang terbit sejak abad XVII dan yang pertama kali memakai sistem cetak rotasi.(arief permadi)