Pages

Selasa, 28 September 2010

wartawan


Feature human interest
(2) MENCARI ENYI DALAM TIMBUNAN LUMPUR
Kamis, 25 Februari 2010 | 03:28 WIB
Pandangan Umar (54), warga Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menyapu deretan nama yang dipasang di masjid RW 18.
Ke-43 nama itu merupakan daftar nama korban longsor yang terjadi pada hari Selasa (23/2). Ia menemukan nama istrinya, Enyi (50), dalam daftar itu di urutan ke-11 dan belum dilingkari. ”Itu berarti jenazah istri saya belum ditemukan dalam timbunan longsor,” ucap Umar lirih dan parau.
Papan nama yang dipasang di masjid Kampung Cimeri, Desa Tenjolaya, menjadi rujukan warga yang mencari tahu nasib sanak saudara mereka. Di dalam masjid, jenazah yang sudah ditemukan disemayamkan sementara untuk kemudian dibawa keluar menggunakan ambulans.
Umar tampak terpukul sekali oleh musibah longsor tersebut. Ia kehilangan belahan hidupnya dalam sekejap saat retakan di bukit ambruk dan menimbun 21 rumah yang dihuni pekerja Perkebunan Teh Dewata itu. Yang membuatnya lebih tertekan, ia menyaksikan sendiri saat-saat terakhir lumpur meluluhlantakkan perumahan pekerja, salah satunya adalah yang ditinggali istrinya.
Bapak enam anak ini pun mengisahkan, ia berada 50 meter dari lokasi saat longsor terjadi pada pukul 08.00. Disertai bunyi dentuman, dia melihat lereng bukit terkupas dan merosot jatuh mendekati permukiman kebun teh. Saat itu, longsoran belum mengenai permukiman warga.
Umar dan beberapa karyawan lain yang melihat hal ini segera berteriak memperingatkan warga yang ada di permukiman untuk segera menghindar. Dari kejauhan, ia melihat istrinya sempat keluar rumah, tetapi kemudian masuk kembali. ”Belum sampai 15 menit setelah longsoran pertama, terjadi longsoran yang lebih besar yang menimbun seluruh permukiman,” ujar Umar murung.
Tidak tanggung-tanggung, lumpur dengan ketebalan lebih dari tiga meter langsung menimbun permukiman itu hingga mencapai atap. Sebanyak 21 rumah warga, lima bangunan milik kantor perkebunan, dan satu masjid hancur. Lumpur juga memutuskan jaringan listrik ke Kampung Cimeri.
Namun, setidaknya Umar masih bisa bernapas lega. Anaknya paling bungsu, Novita Sri Rahayu (8), selamat dari longsor. Novita saat itu tengah bersekolah di lokasi yang berjauhan dengan permukiman penduduk sehingga terhindar dari maut.
Sayangnya, kebahagiaan yang sama tidak bisa dirasakan Administratur Perkebunan Teh Dewata, Irvansyah. Anaknya, Alfart (3), menjadi korban karena sedang berada di rumah bersama pengasuhnya, Ida (35). Keduanya hingga kini belum ditemukan.
Kesedihan juga dirasakan Anton Sutisna (39), Ketua RT 08 RW 18, Desa Tenjolaya. Lelaki yang sudah 27 tahun bekerja di Perkebunan Teh Dewata itu kehilangan dua anggota keluarganya, yakni keponakannya, Neni (26), dan ibunya, Mak Enah (60). Ia juga menyaksikan sendiri rumah ibunya tertimbun longsor. Saat itu, Anton baru saja hendak berangkat ke lokasi perkebunan.
Sejak Selasa malam, Anton mencari keponakan dan ibunya. Baru Rabu, sekitar pukul 10.00, Neni ditemukan. Kelegaan dan kesedihan mendalam terpancar dari wajah Anton.
Setelah bapaknya meninggal, Anton adalah kepala keluarga. Rabu siang itu juga, Anton mengantarkan jenazah Neni kepada orangtuanya. ”Bapak-ibunya sudah menunggu di Ciwidey. Neni mau dibawa ke Tasikmalaya,” katanya menahan tangis.
Setelah Neni, Anton masih harus mencari keberadaan ibunya, hidup atau mati. Meskipun kesempatan hidup semakin menipis karena sudah dua malam tertimbun, Anton tidak patah arang. ”Saya harus tetap menemukan emak…,” tuturnya.
Kompas menumpang ambulans yang mengantarkan jenazah Neni (26) menuju Ciwidey. Sepanjang perjalanan, ambulans yang ditumpangi beberapa kali dihentikan warga. ”Agus… ada Agus di sini? Tanya salah seorang warga yang tampak kebingungan menghentikan ambulans. ”Agus? Teu aya kang… ieu teh Neni (enggak ada kang, ini Neni).” Mengetahui jenazah itu bukan Agus, warga tersebut tampak kecewa.



















Feature Sejarah

Minggu, 26 April 2009
Contoh Feature Sejarah
Simbol Kejayaan Transportasi Masa Kolonial
Kini menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Gedung tua di ujung Jalan Pancasila, Kota Tegal, ini masih kokoh berdiri. Halamannya berumput hijau, tumbuh merata. Tampak pula beberapa pohon Akasia di sekitarnya sehingga area itu tampak asri dari luar. Tapi, begitu masuk ke dalam, ada kesan seram. Apalagi di lantai dua dan tiga, bulu kuduk bisa merinding. Dua lantai itu menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.
Sesungguhnya, bangunan ini bagus, tapi tak terurus. Pemerintah daerah binggung bagaimana mengurusnya. “Kami sulit (mencari) tim ahli untuk menentukan apakah gedung tersebut layak dijadikan cagar budaya atau tidak,”kata Akur Sujarwo, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pemuda Olah raga dan Pariwisata Kota Tegal.
Akur hanya pasrah saat Kepala Kantor Wilayah Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan penyelamatan cagar budaya pada 1998. “Pemkot sendiri belum memiliki perda untuk melindungi keberadaan gedung tua,” katanya.
Tembok bangunan itu bercat putih, sarat ornamen propel. Sayang, sebagian dindingnya sudah berlumut. Tak banyak orang yang tahu bahwa gedung ini pernah menjadi symbol kejayaan transportasi di masa Kolonial Belanda, Yakni sebagai Kantor Biro Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS), di bawah perusahaan Nederland Indice Sporing (NIS) .
Di bawah bangunan ini ada bungker yang menyerupai lorong panjang, tapi di dalamnya ada sel yang menyatu dengan fondasi bangunan. Saat musim hujan, bungker itu penuh air dengan kedalaman sekitar 50 cm. Setiap lorong bungker disekat-sekat dengan teralis seukuran manusia berdiri dengan arah saling berhadapan. Konon lorong itu tembus sampai Pelabuhan Tegalsari, sebuah pelabuhan tua di utara Kota Tegal.
Konon, gedung ini merupakan bangunan termegah kedua setelah Lawang Sewu atau kantor NIS Semarang.” Kata Wijanarto, peneliti sejarah Kota Pantai Utara. Menurut dia, gedung ini dibangun pada 1911 dan diresmikan pada 1913. Perancangnya adalah arsitek andal, Henri Maclaine pont, yang juga menantu Ir. J. Th Gerlings, Direktur SCS di Deen Haag. Sebelumnya, dia berhasil membangun Stasiun Tegal pada 1897.
Pembangunannya dilakukan oleh Europrrsche Architektuur in Indie, arsitek Eropa di negeri jajahan. Konsepnya adalah merespon lintasan matahari tropis dengan pola massa bangunan yang memanjang dari timur ke barat. “ dengan begitu, fasad sisi utara dan selatan kaya artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi,”kata Wijanarto. Kontrak pembangunannya ditandatangani pada 1 November 1910 di Amsterdam untuk masa 3 tahun, oleh SCS, anak perusahaan NIS, yang memegang sonsesi pengelolaan jalar kereta api Anyer-Surabaya.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini diambil alih oleh Jepang dan digunakan untuk kantor Gunseikan atau kantor militer Jepang. Hal itu bisa dipahami karena didekat gedung ini ada Hotel Stoork untuk gudang senjata. “untuk mempermudah pengawasan senjata di Hotel Stoork,” ujar Wijanarto.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan gedung ini ada di bawah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Bahkan halaman gedung yang luas ini pernah digunakan untuk menyimpan aspal dan alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum.
Kepala Tata Usaha Stasiun Kereta Api Kota Tegal Susilo Budi Utomo mengaku tidak tahu kejelasan status pengelolaan gedung SCS yang sebenarnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). “Pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Perhubungan dan Departemen Pendidikan,” katanya.
Dia menambahkan, PT KAI mengalihkan pengelolaan langsung di kantor Daerah Operasional IV di Semarang. Meski demikian, dia menyatakan gedung SCS disewa oleh Yayasan Universitas Panca Sakti (UPS) sebesar Rp 700 ribu per tahun, melalui kesepakatan antar Departemen di Jakarta.
Di depan gedung ini terdapat sebuah taman yang diapit oleh ruas jalan Pancasila. Pada masa colonial dulu, taman tersebut dijadikan sebagai tempat weekend dan pesta kebun bagi pejabat Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Pemerintah Kota Tegal menyebutnya Taman Pancasila. Tapi warga Kota Tegal lebih mengenalnya sebagai Taman Poci. Maklum, di tempat itu, banyak warga dating setiap akhir pecan untuk santai bersama keluarga sambil menikmati the poci.
Belakangan, keberadaan SCS semakin tak dilirik orang. Yayasan UPS yang menyewanya sekitar 30 tahun lalu telah mengosongkan 18 ruangan di lantai dua dan tiga. Maklum, yayasan itu kini telah memiliki kampus, yang diresmikan pada Desember tahun lalu. Tapi bangunan depannya masih digunakan sebagai kantor rektorat. “gedung ini selalu ramai, meski kelihatan angker,” kata Muhammad Abduh, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat UPS.
Saat Tempo mencoba menikmati pemantauan di dalamnya, suasananya kurang nyaman. Di lantai dua dan tiga, bangunan yang kaya dengan ornamen ukiran kayu ini dipenuhi kotoran kelelawar. Aromanya kurang sedap.
Sebenarnya, Abduh betah berkantor di situ. “ Habis gimana lagi, di sini kan kita hanya minjam,” tuturnya. Yang jelas, di usianya yang kian renta, cagar budaya ini butuh perhatian dan uluran tangan. ****EDI FAISOL
di posting dari KORAN TEMPO  Jum’at, 20 Maret 2009
Feature musiman
Ketika Harga Bendera Lebih Murah dari Cabai
Penjual Musiman Bermalam di Trotoar

AGUSTUSAN. Penjual aksesori perayaan 17 Agustus di Jalan AP Pettarani, Selasa, 27 Juli. Di tempat ini, selembar bendera merah-putih dijual antara Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu. (FOTO JUMAIN SULAIMAN/FAJAR)
BANYAK momen yang bisa digunakan untuk meraup rupiah. Salah satunya jelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, bendera dan umbul-umbul banyak dicari.

SUASANA masih pagi namun Daeng Sewang sudah menggelar lapaknya di pinggir jalan. Lapak tersebut hanya terbuat dari karpet kecil berukuran lebih kurang 1x2 meter. Di situlah ia memajang bungkusan-bungkusan barang jualannya.

Daeng Sewang adalah penjual atau pedagangan bendera dan umbul-umbul yang mangkal di Jalan AP Pettarani. Tempat jualannya hanya memanfaatkan ruas trotoar. Namanya juga pedagang kecil-kecilan, hampir tidak ada fasilitas jualan yang dia miliki layaknya pedagang kakap. Tak ada kalkulator, meja, buku keuangan, dan lainnya. Modalnya cuma karpet itu tadi plus barang jualan.

Sehari-hari Daeng Sewang memang berjualan bendera dan aneka umbul-umbul serta berbagai aksesori perayaan peringatan HUT Kemerdekaan RI. Sudah hampir dua minggu ia berjualan di tempat itu. Profesi penjual musiman telah digelutinya sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya sudah hampir sepuluh tahun ia terjun ke dalam bisnis dadakan seperti ini. Bisnis Daeng Sewang memang hanya bergantung pada musim.

Daeng Sewang menceritakan, barang-barang jualannya merupakan murni bisnis sendiri alias modal yang dipakai tak lain adalah uangnya sendiri. Meskipun barang yang dijajakan secara kuantitas tidak begitu banyak tetapi pasokannya lancar, sehingga tidak pernah mengalami kehabisan stok.

Walau sedikit, tetapi variatif. Berbagai jenis bendera dan umbul-umbul dijualnya. “Semua barang yang saya jual, dipasok dari Bandung,” kata Sewang, Selasa, 27 Juli.

Di samping model bendera dan umbul-umbul yang variatif, ukurannya juga terbilang beragam. Dari yang kecil hingga yang lebar. Semuanya ia tawarkan di lapak sederhananya itu. Lapak yang multifungsi.

Dikatakan multifungsi, karena selain digunakan berjualan, yakni sebagai etalase barang jualan, lapak itu juga digunakannya untuk beristirahat dan tidur. Sambil menunggu pembeli, kadang-kadang Daeng Sewang tertidur di lapaknya itu.

Hampir setiap malam Daeng Sewang bermalam di lapaknya tersebut. Kecuali jika hujan deras, terpaksa ia pulang kerumah membawa barang jualannya. Lantas mengapa sampai rela mau menginap di lapaknya itu? Ada dua alasan yang dia ajukan, yaitu alasan pembeli dan efisiensi.

Daeng Sewang mengaku pembeli kadang-kadang sampai larut malam masih ada. Makanya, karena faktor itu sehingga ia rela menunggui pembeli hingga larut malam.

Sedangkan untuk alasan efisiensi, Daeng Sewang mengeluhkan jika harus selalu menata barang dagangannya. Barang jualan yang ada di lapak mungkin mudah diatur dan dikemas untuk di bawa pulang.

Tetapi contoh jualan yang digantung serta direntangkan di pohon-pohon yang sulit. Karena setiap kali mau dikemas, mesti memanjat dan membuka tali-temali yang dijadikan sebagai bahan gantungan contoh jualan.

Barang contoh sebagian terpaksa dibentangkan di pepohonan yang tumbuh di trotoar karena banyak umbul-umbul serta bendera yang berukuran panjang. Sehingga tidak bisa jika hanya dibentangkan di lapaknya karena tidak muat. "Setengah mati memasangnya jika diturunkan. Makanya dibiarkan saja begitu (terpasang red)," imbuh Daeng Sewang.

Ada beberapa jenis bendera, umbul-umbul, serta aksesori peringatan kemerdekaan lainnya. Pada umumnya mengandung dua warna dasar, yaitu merah dan putih. Untuk bendera merah putih biasa, ada tiga jenis ukuran yang dijualnya. Yaitu ukuran 120x50 sentimeter, 150x70 sentimeter, dan 200x100 sentimeter.

Kemudian untuk umbul-umbul biasa, setidaknya ada dua jenis yang dijual. Ada umbul-umbul lurus dan ada yang modelnya runcing. Kombinasi warnanya juga bermacam-macam, seperti merah-putih, merah-putih-ungu, merah-putih kuning, dan merah-putih-hijau. Ada juga umbul-umbul ukuran jumbo yang berukuran 4x1 meter. Ada dua macam kombinasi warnanya, yaitu merah-putih-kuning-biru, dan merah-putih-hijau.

Lalu ada juga umbul-umbul tipe background yang tersedia dalam dua ukuran, yaitu 5x1 meter dan 10x1 meter. Model tipe ini juga ada tiga macam, yaitu model biasa, matahari, dan matahari berenda. Dinamakan umbul-umbul background karena penggunaannya hanya digunakan sebagai latar di kantor-kantor atau dalam hajatan.

Untuk harga, Daeng Sewang mengaku barang yang dijualnya terjangkau oleh semua kalangan. Bendera biasa dibanderol dengan harga Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu. Itu sudah harga semua model atau ukuran bendera non umbul-umbul dan aksesoris. Demikian halnya untuk umbul-umbul termasuk umbul-umbul jumbo, harganya di kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu. "Kecuali background yang agak mahal," katanya.

Jika dibandingkan dengan harga cabai dan tomat saat ini, tentu saja harga selembar bendera jauh lebih murah dari satu kilogram bawang dan kedua komiditas tadi. Saat ini harga cabai semua ukuran telah mencapai Rp 30 ribu per kilogram.

Seperti pengakuan H Naba, pedagang sayuran di Pasar Pabaengbaeng, cabai dijual di kisaran Rp 29 ribu hingga RP 31 ribu per kilogram. "Memang mahal karena dari pemasoknya juga begitu," kata Naba.

Naba mengeluhkan kenaikan kenaikan beberapa item bahan pokok, terutama bawang dan cabai. Karena hal itu, katanya, mengakibatkan penghasilannya berkurang. "Sejak harga barang-barang naik, pembeli berkurang. Kalaupun ada pembeli, mereka mengurangi takaran belanjanya," ungkap dia. (*)













                               





























Feature berita
BERJUALAN ROKOK HANYA UNTUK ANAK ISTRI

Semangat pantang menyerah, mungkin kata-kata itu cocok untuk Suroto yang menjajakan rokok demi menghidupi anak dan istrinya.
Suroto (37), bapak dari dua anak ini salah satu pendual rokok di jalan Malioboro. Suroto berasal dari Solo. Dia memilih berjualan di Jogja karena menurutnya di Jogja keuntungan yang dia dapatkan lebih banyak sehingga cukup untuk menghidupi 2 anaknya yang saat ini masih sekolah TK dan SD.
Awalnya, suroto bingung mencari bidang usaha yang ia tekuni. Pilihannya pun jatuh pada rokok, karena saat itu ia menerima ajakan temannya yang sudah lebih lama menggeluti di bidang tersebut. Walaupun penghasilan yang ia dapatkan dari menjual rokok tidak terlalu banyak ia yakin dapat menghidupi anak dan istrinya yang menanti.
Suroto mulai bekerja sejak pukul 09.00 s/d sore pulul 16.00 ia memperoleh penghasilan sebanyak Rp. 25.000,- akan tetapi kadang ia berjualan sampai malam, keuntungan yang ia dapatkan bila berjualan sampai malam bisa mencapai Rp. 50.000,-. Suroto harus pintar-pintar membagi penghasilan, saat ditanya apakah uang segitu cukup pak ? ya besar pasak dari pada tiang katanya sambil membasuh mukanyanya yang kusam” Dia juga mengatakan bahwa ia harus pintar-pintar membagi uang karena ia harus menanggung uang makannya sehari-hari, terus biaya untuk kos yang harus ia bayarkan sebanyak Rp. 120.000,- per bulan, belum untuk pulang ke kampung halaman dan memberi nafkah kepada anak istrinya. Mujiono juga salah satu teman sehabitat berjualan rokok suroto menurutnya suroto orangnya baik. Dia mengaku bahwa hubungan mereka sesame penjual rokok sangat terjaga “ Ya sama-sama rekann kerja kalau ada apa-apa ya di Bantu, ujar Mujiono dengan senyum simpulnya. Suroto mengaku sangat senang berjualan di Malioboro sangat senang selain orangnya ramah-ramah dia juga menemukan pengalaman yang berwarna-warni dan walaupun tidak di kampungnya sendiri ia dapat bermasyarakat dengan baik, sehiingga ia tetap semangat mencari nafkah demi menghidupi anak istrinya.

Muhammad Aziiz/153070.198

















Profil feature
KISAH NYONYA SULAIMAN
Hanya lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam, pada saat wanita tua itu menjalankan tugasnya, membersihkan gang pada jam 2 malam. Nyonya Selasih Sulaiman, 69 tahun, sudah sekitar setahun menyapu gang di Jalan Kurcaci, hampir setiap malam.
“Saya melakukan hal ini sejak suami saya meninggal, setahun yang lalu, “ Nyonya Sulaiman menjelaskan dengan senyum ramahnya. “Saya tidak ada pekerjaan lain. Semua tetangga saya sibuk bekerja, maka inilah bagian kecil saya.”
Keheningan tugas malam itu hanya terganggu oleh patroli rutin polisi. Petugas patroli Aritonang dan Sujiwo mendatangi gang itu pada saat Nyoya Sulaiman ada di luar. “Ia wanita yang baik, maka bila tak ada tugas lain, kami senang mendatangi daerah ini,” kata Aritonang. “Kedua anak ini berpatroli tiap malam untuk melihat apakah wanita tua gila ini aman,” kata Nyonya Sulaiman gembira. Meskipun ia menyebut dirinya “wanita tua gila”, Nyonya Sulaiman menunjukkan filsafat seorang realis.Mengakui bahwa gang itu tidak selalu kotor, ia menjelaskan, ”Wanita tua seperti saya ini perlu beramal. Karena suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa, saya harus melakukan sesuatu.”
Mula-mula ia enggan berbicara mengenai tugas malamnya membersihkan sampah di gang. Tetangganya tidak tahu perkerjaan itu. “Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya akan berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya,” katanya. “Saya tidak ingin ini dimuat di koran. Mengapa engkau risaukan saya keluar jam dua malam?”
Hanya dengan imbuan bahwa ada kebanggaan masyarakat, ia mau bercerita dan berharap bahwa warga kota lainnya akan mengikuti jejaknya, tapi pada siang hari. “Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar,” katanya. “Kadang-kadang anak-anak lewat di sini kalau minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak mengganggu saya. Mereka selalu melambaikan tangan.”
Pekerja malam hari itu pernah satu kali menjadi penjaga tetangga yang sedang tidur dari kejahatan. Ketika suatu ketika ia sedang menyapu, Nyonya Sulaiman melihat seorang pria yang bersembunyi di balik semak. “Maka saya masuk lagi dan menelpon polisi. Kedua polisi yang baik hati ini datang dua menit kemudian dan menangkap orang itu, yang sedang merangkak ke jendela tetangga sebelah.”
Pada siang hari tetangga di kiri kanan rumahnya dan sepanjang gang itu memanggil Nonya Sulaiman “nenek”. Matanya sayu penuh perasaan bila bercerita tentang tetangganya. “Mereka baik-baik,” katanya. “Anak-anak memanggil saya nenek dan selalu datang pada saya. Saya bikinkan kue untuk mereka, asal ibu mereka tidak melarang. Pria di sini juga baik-baik, membantu saya mengangkat barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis.”
Tetangganya, para wanita, merawat Nyonya Sulaiman ketika ia agak sakit bulan Januari lalu. “Tidak banyak wanita tua yang beruntung seperti saya ini, “ katanya. “Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda. Itulah kunci hidup supaya menyenangkan, berpikir muda.” *****







Tidak ada komentar:

Posting Komentar